Rabu, 24 September 2008

Behind The Bloody September 1965 (Bagian I)

(Nukilan dari buku Soebandrio: “Kesaksianku Tentang G-30-S”)

SUARANYA bergetar. Matanya basah berkaca-kaca. “Pak Ban, selamat tinggal. Jangan sedih. Empat hari lagi kita bertemu.” Kata Letnan Kolonel Untung, telunjuknya menunjuk ke langit. Lalu keduanya diam. Suasana hening. Dari jarak agak jauh para sipir penjara dan tentara-tentara berwajah angker mengawasi mereka.


Menjelang senja hari itu Untung dijemput dari selnya, dan diberitahu eksekusi terhadapnya akan dilaksanakan. Soebandrio terkesiap. Karena ia pun telah diberitahu akan mendapat gilirannya, empat hari berikut sesudah Untung.

Demikianlah Soebandrio melukiskan perpisahannya dengan Untung pada akhir 1965, seperti tertulis dalam memoarnya “Kesaksianku Tentang G-30-S” (KTG). Kedua mereka memang pernah menjadi sesama penghuni LP Cimahi Bandung, sama-sama dituduh terlibat G-30-S, dan sama-sama dijatuhi hukuman mati.

Untung berjalan tegap menuju pintu gerbang, meninggalkan penjara Cimahi. Mungkin rasa gundah telah pupus dari hatinya. Karena tahu, mimpi hidup sudah sirna. Ia tinggal pasrah.

“Saya kemudian mendengar, Untung telah dieksekusi di sebuah desa di luar kota Bandung.” Kata Soebandrio merenung.

Sejak itu ia sendiri gelisah. Ajal akan datang dalam empat hari lagi! Tetapi sebuah keajaiban telah terjadi. Presiden Amerika Serikat Lyndon B. Johnson dan Ratu Inggris Elizabeth, mengirim kawat kepada Presiden Suharto. Mereka minta agar hukuman mati terhadap Soebandrio tidak dilaksanakan. Belakangan keputusan hukuman mati atas Soebandrio diubah menjadi hukuman penjara seumur hidup. Hukuman seumur hidup ini pun akhirnya batal, karena pada 16 Agustus 1995 ia telah dibebaskan.

Sebelum Untung dieksekusi dan masih sama-sama di LP Cimahi, kepada Soebandrio ia sering menegaskan, mustahil Suharto akan tega mengkhianatinya. “Sebab”, kata Soebandrio, “Untung sahabat Suharto, dan Suharto pun mengetahui rencana G-30-S itu.” Selain terhadap Untung, Suharto juga tidak mungkin akan mengkhianati Kolonel Abdul Latief. Untung dan Latief, kedua mereka anak buah Suharto ketika ia menjabat Panglima Divisi “Diponegoro”. Selain itu Untung, yang bertubuh agak pendek, dikenal sebagai prajurit pemberani dan tidak menyukai politik.

“Percayalah Pak Ban,” katanya suatu hari, “vonis buat saya itu hanya sandiwara.”

Setelah berpisah dari Divisi “Diponegoro” pada tahun ’50-an, Suharto dan Untung bersatu lagi. Ini terjadi tahun 1962 dalam kampanye merebut kembali Irian Barat. Suharto Panglima Komando “Mandala”, dan Untung memimpin pasukan di garis depan. Untung dan pasukannya terkenal gagah berani bertempur di hutan belantara Kaimana, sehingga karenanya pula belakangan Soekarno merekrut Untung menjadi salah sorang Komandan Batalyon Kawal Istana, “Cakrabirawa”. Suharto sendiri kemudian menjadi Panglima Kostrad.

Ketika konflik antara Soekarno dan PKI di satu pihak, dengan elite AD di lain pihak semakin meningkat, posisi Untung menjadi strategis. Suharto mulai mendekati Untung, dan berusaha menarik ke pihaknya. Akhir 1964, ketika Untung menikah di Kebumen Jawa Tengah, Suharto dan istri sengaja datang menghadiri.

Selain Untung, Suharto juga membina Latief, yang saat itu menjadi Komandan Brigade Infantri I Jaya Sakti, Kodam Jaya. Tapi berbeda dengan Untung, yang bawahan semata, Latief ini menggenggam rahasia Suharto. Yaitu dalam hubungan dengan “Serangan Oemoem” 1 Maret 1949 di Yogyakarta, yang dikenal sebagai “Operasi Janur Kuning” itu. Rahasia itu bukan masalah ide siapa, “SO 1 Maret” itu. Sudah diketahui umum, dan sudah pula ditulis di banyak buku, bahwa “SO 1 Maret” adalah gagasan Sultan Hamengkubuwono IX.

Tapi yang menjadi soal rahasia dalam hubungan Latief - Suharto, yaitu ketika pasukan Latief dalam keadaan kocar-kacir digempur Belanda — dua belas anggota pasukan terluka, dua gugur, dan lima puluh pemuda gerilyawan tewas — sehingga terpaksa mundur ke Pangkalan Kuncen, Latief bertemu Suharto di garis belakang. Di situ dijumpainya Suharto sedang makan soto babat dengan santainya. Padahal perang sedang sengit dan ribuan tentara menyabung nyawa.

Suharto berusaha merangkul Latief. Bersama Tien, istrinya, Suharto mengunjungi keluarga Latief, ketika punya hajat khitanan anaknya.

“Saya menilai Suharto mendekati Latief dalam upaya sedia payung sebelum hujan,” tutur Soebandrio.
Targetnya?

“Jelas menuju istana,” kata Soebandrio.

Suharto juga berusaha menarik Brigjen Soepardjo dari Divisi Siliwangi menjadi Pangkopur II. Betul saja. Ketika suhu politik memanas pada pertengahan September 1965 di Jakarta, Latief melapor pada Suharto tentang isu Dewan Jenderal yang akan mengkup Presiden Soekarno. Hampir bersamaan dengan waktu itu, 15 September 1965, Untung juga melapor pada Suharto tentang soal yang sama. Malah Untung mengajukan gagasannya untuk menangkap para anggota Dewan Jenderal, sebelum mereka sempat melancarkan gerakan kudeta itu.

“Bagus kalau kamu punya rencana begitu. Sikat saja, jangan ragu-ragu,” kata Suharto. “Kalau perlu bantuan pasukan, akan saya bantu,” lanjutnya pula.
Untung gembira.

“Dalam waktu secepatnya akan saya datangkan pasukan dari Jawa Timur, Jawa Barat, dan Jawa Tengah.” Suharto meyakinkan (KTG, hal. 49).

Atas perintah Soeharto, beberapa batalyon tentara dari daerah memang datang ke Jakarta, secara bertahap sejak 26 September 1965. “Jelas pasukan ini didatangkan untuk menggempur Dewan Jenderal.” Kata Soebandrio.

Tapi setelah G-30-S meletus, Suharto segera berbalik gagang. Digempurnya pelaku G-30-S tanpa ampun, dan dituduhnya gerakan itu sebagai didalangi PKI. Padahal, dua hari sebelum 1 Oktober, Latief kembali melaporkan soal rencana kudeta Dewan Jenderal kepada Suharto. Termasuk rencana penculikan terhadap beberapa jenderal.