Sabtu, 27 September 2008

Pemilu 1999

Pemilu 1999


Setelah Presiden Soeharto dilengserkan dari kekuasaannya pada tanggal 21 Mei 1998, jabatan presiden digantikan oleh wakil presiden Bacharuddin Jusuf Habbie. Atas desakan publik, Pemilu yang baru atau yang dipercepat segera dilaksanakan, sehingga hasil Pemilu 1997 segera diganti. Kemudian ternyata bahwa Pemilu dilaksanakan pada 7 Juni 1999 atau 13 bulan masa kekuasaan Habbie. Pada saat itu untuk sebagian alasan diadakan Pemilu adalah untuk memperoleh pengakuan atau kepercayaan publik, termasuk dunia internasional, karena pemerintahan dan lembaga-lembaga lain yang merupakan produk Pemilu 1997 sudah dianggap tidak dipercaya. Hal ini kemudian dilanjutkan dengan penyelenggaraan Sidang Umum MPR untuk memilih presiden dan Wakil presiden yang baru.

Ini berarti bahwa dengan pemilu dipercepat, yang terjadi bukan hanya bakal digantinya keanggotaan DPR dan MPR sebelum selesai masa kerjanya, tetapi Presiden Habibie sendiri memangkas masa jabatannya yang seharusnya berlangsung sampai tahun 2003, suatu kebijakan dari seorang presiden yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Sebelum menyelenggarakan Pemilu yang dipercepat itu, pemerintah mengajukan RUU tentang Partai Politik, RUU tentang Pemilu dan RUU tentang Susunan dan kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Ketiga draft UU ini disiapkan oleh sebuah tim Depdagri, yang disebut Tim 7, yang diketuai oleh Prof.Dr.M Ryaas Rasyid (Rektor IIP Depdagri, Jakarta).

Setelah RUU disetujui DPR dan disahkan menjadi UU, presiden membentuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang anggota-anggotanya adalah wakil dari partai politik dan wakil dari pemerintah. Satu hal yang secara sangat menonjol membedakan Pemilu 1999 dengan pemilu-pemilu sebelumnya sejak 1971 adalah pemilu 1999 ini diikuti oleh banyak sekali peserta. Ini dimungkinkan karena adanya kebebasan untuk mendirikan partai politik. Peserta Pemilu kali ini adalah 48 partai. Ini sudah jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah partai yang dan terdaftar di Departemen Kehakiman dan HAM, yakni sebanyak 141 partai.

Dalam sejarah Indonesia tercatat, bahwa setelah pemerintahan Perdana Menteri Burhanuddin Harahap, pemerintahan Reformasi ini yang mampu menyelenggarakan pemilu lebih cepat setelah proses alih kekuasaan. Burhanuddin Harahap berhasil menyelenggarakan pemilu hanya sebulan setelah menjadi Perdana Menteri menggantikan Ali Sastroamidjojo, meski persiapan-persiapannya sudah dijalankan juga oleh pemerintahan sebelumnya. Habibie menyelenggarakan pemilu setelah 13 bulan sejak ia naik ke kuasaan, meski persoalan yang dihadapi Indonesia bukan hanya krisis politik, tetapi yang lebih parah adalah krisi ekonomi, sosial dan penegakan hukum serta tekanan internasional.
.