Jumat, 19 September 2008

Dirgantara Indonesia, Airbus, dan Boeing

HAMID BASYAIB

TANPA banyak diberitakan, dan karenanya tanpa menimbulkan kebanggaan selayaknya, PT Dirgantara Indonesia (DI) mendapat pesanan pembuatan sayap untuk 40 pesawat A380, tipe terbaru dan terbesar produk raksasa Eropa, Airbus. Keistimewaan tipe ini bisa dilihat dari, misalnya, bangganya Singapore Airlines (SQ) dalam mengiklankan armada itu dua tahun sebelumnya.

SQ menyatakan, dialah pengguna pertama ‘hotel udara’ bertingkat dan berpenumpang 550 orang itu. Untuk operasi perdana A380 awal tahun ini, tiket penerbangan Singapura-Sydney dilelang dan laku hingga Rp 1 miliar selembar.

Airbus sebelumnya mempercayakan pembuatan sayap kepada DI untuk tipe A340, A330, A320. Boeing, jagoan Amerika itu, pun sejak lama memesan komponen pada DI, terutama untuk tipe 737, 757, dan 767. Siapa tahu nanti Boeing pun memesan untuk produk mutakhir kebanggaannya, Dreamliner 787. Bahkan AU Amerika mempercayakan sejumlah komponennya pada PT DI untuk pesawat tempur andalannya, F-16 Fighting Falcon.

Atas saran BJ Habibie, orang yang mendesain-ulang seluruh industri dirgantara Indonesia yang bermula pada 1946, DI sementara ini memang berkonsentrasi pada pembuatan sayap. Program pembuatan pesawat utuhnya tampaknya untuk sementara harus ditunda, setelah industri yang pernah berpegawai hampir 10 ribu orang itu dihantam krisis 1998.

Kini, dengan jumlah karyawan sekitar 3.700 orang, prospek DI agaknya cukup cerah. Pemain-pemain besar seperti Boeing, Airbus, General Dynamics – selain yang lebih kecil seperti CASA dan Bell – terbukti telah mempercayakan pembuatan sejumlah komponen mereka pada DI, yang selamat dari gugatan pailit oleh karyawannya pada akhir 2005.

Pemulihan produk-produk utuhnya (N250 dan lain-lain) agaknya bisa dikerjakan dalam dua-tiga tahun lagi.

Kisruh yang berlarut di tubuh industri yang mestinya jadi kebanggaan nasional itu memang sempat memukul telak DI. Tidak ada data pasti berapa jumlah insinyur mudanya yang hijrah ke negeri lain untuk mengembangkan bakat mereka dan mendapat nafkah yang layak. Tapi diduga jumlah mereka ratusan orang, tersebar di sejumlah negara Eropa, selain ke Malaysia.

Negara-negara itu dengan tangan terbuka selebar-lebarnya tentu gembira menerima ‘durian runtuh’ – sejumlah orang berbakat yang mereka peroleh dengan ‘gratis’, tanpa perlu mendidiknya bertahun-tahun.

Kita hanya bisa prihatin menyaksikan brain drain yang amat merugikan bangsa ini. Kita yakin, orang-orang Indonesia yang hebat dan dedikatif itu pun sesungguhnya sedih harus bekerja untuk kejayaan negeri lain. Tapi kita maklum atas pilihan mereka.

Mereka harus menghadapi pilihan pahit: antara menyia-nyiakan keahlian plus tak punya penghasilan memadai dan penghargaan tinggi atas keahlian mereka oleh negeri-negeri tuan rumah. Azas kewajaran tentu membuat mereka memilih yang kedua.

Habibie sendiri menolak menangani kembali industri yang pernah dirawatnya selama dua puluh tahun itu, lengkap dengan empat tahap pengembangannya yang tertata rapi dan sistematis. “Semuanya sudah diserahkan kepada pemerintah, dan masalahnya tentu bisa diatasi,” katanya.

Ia mencoba tetap optimistis sambil menekan kepahitannya, termasuk terhadap banyak rongrongan dari sesama pejabat dan komentator yang selalu sinis pada proyek dirgantaranya yang dianggap ‘mercusuar’, tak realistis, tidak cocok dengan situasi agraris Indonesia, dan sebagainya.

Habibie mengaku sudah terlalu tua untuk membangun kembali industri strategis itu. Menurut dia, banyak insinyur Indonesia yang sedang bekerja di Jerman akan mampu dan mau pulang untuk memulihkan dan meningkatkan kapasitas DI. Tentunya Habibie pun bersedia membujuk mereka, yang menurut dia sering ia temui, agar pulang.

Pada 1974, sewaktu diminta Presiden Soeharto agar pulang dan ikut membangun Indonesia, Habibie mendapat semua fasilitas yang ia butuhkan. Situasi sekarang tentu saja berbeda.

Tidak ada penguasa sekuat Soeharto yang mampu memberi perlindungan maksimal pada proyek-proyek Habibie. Dana negara pun tentu tak sebesar dulu. Tapi tentu pemerintah saat ini pun perlu untuk sebisa-bisanya bersikap serupa untuk menyambut brain gain baru kelak.

Sambutlah anak-anak Indonesia itu dengan sehangat-hangatnya. Dan biarkan mereka ikut membangun negeri dengan cara-cara terbaik mereka sendiri. Hasil-hasilnya pasti akan dinikmati oleh semua orang. Termasuk oleh mereka yang mungkin kurang menyukai mereka.

Penulis adalah Direktur Program Freedom Institute

http://www.1ndonesia.info/2008/09/di...us-dan-boeing/