Selasa, 26 Agustus 2008

SP/Ignatius Liliek

Salah satu film animasi karya komunitas animasi ditampilkan pada pembukaan acara "Urbanimation 2008: Pesta Animasi Indonesia" di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Senin (14/1). Urbanimation adalah sebuah kompetisi festival film animasi bagi para animator di Indonesia, Festival ini akan berlangsung sampai dengan Minggu (20/1).

anpa kehebohan di sana-sini, animator Indonesia menunjukkan kualitasnya merespons pasar internasional. Sayangnya mereka lebih dipercaya oleh produser asing dibanding produser dalam negeri. Industri animasi Indonesia memang belum berkembang.

Oleh karena itu, menurut Ketua Penyelenggara Pesta Animasi Indonesia 2008 Hanitianto Joede, animator Indonesia memerlukan perhatian maksimal. Terlebih saat ini marak serbuan animasi dari Amerika Serikat dan Jepang. Menurut dia, Indonesia memiliki banyak seniman animasi dan rumah produksi yang menghasilkan karya baik untuk kalangan sendiri hingga untuk konsumsi industri animasi dunia.

"Inilah yang perlu ditampilkan ke masyarakat agar lebih dikenal lagi, karena potensi di dalam negeri banyak sekali," ujarnya di sela-sela pembukaan pesta animasi yang disebut Urbanimation 2008 itu.

Urbanimation 2008 adalah ajang pesta animasi yang memfokuskan diri pada proses mencari, menyosialisasikan, memasarkan, memaparkan dan mewujudkan seni dan industri animasi di Indonesia. Acara ini sekaligus mempopulerkan dan mengedukasi masyarakat bahwa animasi bukan hanya untuk anak-anak saja.

Dalam Urbanimation 2008 dikemas sejumlah acara lain seperti kompetisi film animasi nasional, pameran, pemutaran film animasi, seminar, dan loka- karya yang diselenggarakan di Taman Ismail Marzuki Jakarta hingga tanggal 20 Januari 2008.

Untuk festival film animasi, peserta yang mendaftar sudah mencapai 102 orang. Mereka akan memperebutkan penghargaan terbaik. Para peserta diseleksi menjadi 30 terbaik yang akan dinilai oleh dewan juri yang terdiri dari Dwi Koendoro, Candra Endroputro, dan Michael Gumelar.

Tantangan

Dwi Koendoro, salah satu dewan juri yang juga animator senior menyebut, masyarakat Indonesia sebenarnya sudah lama mengenal animasi. Khazanah budaya seperti wayang, adalah contoh animasi yang dimiliki bangsa Indonesia.

Belakangan dengan perkembangan teknologi, marak muncul gaya-gaya baru dalam animasi Indonesia. Seperti munculnya teknologi dua dimensi dan tiga dimensi.

"Tapi belakangan munculnya keunggulan teknologi ini malah terkesan menggampangkan proses pembuatan, sehingga hasilnya tidak maksimal," ujar pencipta karakter Panji Koming itu.

Tantangan lain menurut Dwi adalah sulitnya menyatukan animator Indonesia. Ada egosentris yang besar pada animator Indonesia, sehingga terkesan sulit untuk diatur. Menurut Joedo, di kalangan animator sendiri belum banyak yang melihat dunia animasi sebagai industri. Seniman masih melihat animasi sebatas karya seni saja, padahal bisa dijual.

Tetapi kondisi ini juga disebabkan belum ada dukungan terhadap dunia animasi dalam negeri. Dia mencontohkan, dunia televisi yang kerap menayangkan film animasi cenderung memilih film animasi luar negeri dibanding karya lokal.

"Kalau dilihat, hitung-hitungan produksi film luar negeri memang lebih murah. Contoh film Doraemon atau Saint Saiya, yang berdurasi 30 menit paling dibeli oleh stasiun televisi Indonesia seharga US$ 1.500, sementara untuk memproduksi sendiri minimal dibutuhkan biaya Rp 75 juta. Apalagi kemudian belum tentu laku," ujarnya.

Hal inilah, menurut Joede, perlu dilakukan terobosan baru, agar seniman animasi Indonesia mendapat hati di masyarakat. Banyak animator Indonesia yang mengerjakan proyek animasi dari luar tetapi nama mereka tidak tercantum karena kontraknya berbeda.

"Game-game atau film animasi internasional pun pernah dikerjakan animator Indonesia," ujar Joedo.

Dalam persaingan animator internasional, Joedo menyebut saingan terdekat Indonesia adalah India dan Tiongkok. Animator dari kedua negara itu juga mulai menggencarkan proyek-proyek internasional. [K-11]

Animator Indonesia Lebih Dipercaya Produser Asing