Selasa, 26 Agustus 2008

Wangi Indonesia di Tanah Abyssinia…

Rakaryan Sukarjaputra

Mendengar kata Etiopia, umumnya kita mungkin akan langsung membayangkan orang-orang yang kelaparan, tempat yang kumuh, dan potret kemiskinan yang teramat sangat. Gambaran seperti itu tidak terlalu salah karena negara di tanduk Afrika tersebut memang pernah mengalami bencana kelaparan yang sangat parah pada era 1990-an.

Siapa nyana di negeri yang dulu dikenal dengan nama Abyssinia itu justru harum sabun buatan Indonesia terus mewangi di kalangan warga Etiopia. Lewat produk sabun B-29 yang dulu begitu terkenal di Indonesia, PT Sinar Antjol Jakarta melalui First Indo-Ethiopia PLC berhasil menguasai pasar sabun di negara yang pendapatan per kapita warganya baru sekitar 160 dollar AS itu. Nama Indonesia, yang cukup akrab dengan banyak warga Etiopia itu berkat Konferensi Asia Afrika-nya, pun ikut terus berkibar pada masa sekarang.

Kerja keras tiga "pionir" warga kita, yaitu Andrianto Yuliar Salam, Afianto Kusuma, dan Taryat Suratman, menggerakkan sekaligus menembus pasar Etiopia sangat patut diacungi jempol. Sabun B-29 yang diproduksi dalam bentuk batangan dan bisa digunakan untuk mencuci sekaligus mandi, menurut Andrianto yang General Manager First Indo-Ethiopia PLC, menguasai sekitar 35 persen pangsa pasar sabun di negara berpenduduk 73 juta jiwa itu.

Ajak pengusaha lokal

Andrianto yang sudah empat tahun bertugas di Etiopia—dengan meninggalkan keluarganya di Indonesia—menceritakan, ekspor produk sabun itu awalnya ke sejumlah negara Afrika yang telah dirintis sejak tahun 1980, dan terus bertahan dengan rata-rata kiriman lima kontainer setiap bulan.

Pada saat yang sama, di dalam negeri perusahaan produsen berbagai jenis sabun dan lotion itu menghadapi persaingan yang semakin ketat dan keras dengan sejumlah perusahaan penghasil produk sejenis, baik yang merupakan anak perusahaan internasional maupun perusahaan nasional yang berkapital lebih kuat.

Akhirnya, dengan mengajak seorang pengusaha lokal yang sudah cukup lama bergerak di bidang distribusi barang, didirikanlah perusahaan patungan pertama RI-Etiopia, First Indo-Ethiopia PLC. Di atas tanah sekitar satu hektar, pabrik yang mulai dibangun pada 2001 itu mulai beroperasi penuh awal 2003. Dalam waktu singkat produk sabun B-29 bisa menguasai pangsa pasar di Etiopia.

"Modal awal kami hanya Rp 10 miliar, komposisi permodalan dari kami 60 persen, sedangkan mitra 40 persen," papar Andrianto.

Dengan memanfaatkan mesin-mesin sederhana yang sudah tidak terpakai lagi di Jakarta, lanjut Andrianto, pabriknya kini setiap bulan bisa menghasilkan pemasukan antara Rp 10 miliar-Rp 12 miliar, atau melebihi modal awalnya sendiri.

"Pesaing memang ada, tetapi dari segi kemampuan dan pengalaman yang berat pesaing orang Indonesia juga," ungkapnya sambil menguraikan bahwa pengetahuan warga Indonesia dalam mengolah minyak sawit mentah (CPO) menjadi produk-produk sabun jauh lebih mumpuni dibandingkan warga dari beberapa negara lainnya.

Pabrik yang beroperasi 24 jam itu mempekerjakan 250 warga Etiopia, dibagi dalam empat gilir kerja. Pabrik itu rata-rata memproduksi 4.000 karton atau 400.000 batang sabun setiap hari. Selain sabun batangan, pabrik ini juga menghasilkan sabun mandi bermerek "Ayu" yang pasarnya juga terbilang lumayan meskipun belum berhasil menjadi pemimpin pasar. "Pasar kami hanya Etiopia saja. Untuk negara-negara lain, kami mengekspor langsung dari Jakarta karena biayanya lebih murah," ujar Afianto.

Menurut Afianto, masuk ke pasar di Etiopia tidaklah sulit. Bahkan relatif mudah untuk pengusaha Indonesia yang terbiasa menghadapi persaingan ketat dan berbagai hambatan. Pemerintah Etiopia pun memberikan berbagai kemudahan untuk berinvestasi dan berbisnis di negeri itu.

"Sumber daya manusia Etiopia menurut kami juga cukup baik. Mereka cukup pintar dan mau bekerja keras. Upah minimum di sini sekarang sekitar Rp 12.000 per hari dengan lama kerja delapan jam. Itu termasuk murah," tambah Andrianto.

Tahap pemrosesan akhir

Dari peninjauan Kompas ke lokasi pabrik itu di pinggiran kota Addis Ababa, tampak yang dilakukan perusahaan patungan RI-Etiopia itu sebenarnya sederhana sekali. Mereka mendatangkan bahan mentah sabun dalam bentuk soap noddle (hasil olahan CPO) dari Indonesia. Soap noddle dicairkan kemudian dicetak lagi menjadi sabun-sabun batangan. Pantaslah bila biaya investasi awalnya memang tidak besar dan peralatan di pabrik pun sangat sederhana.

Untuk sabun detergen bubuk, Andrianto menjelaskan, mereka mendatangkan bubuk detergen langsung dari Indonesia dan tinggal dikemas di Etiopia. "Memang untuk detergen bubuk ini pajak impornya cukup tinggi, yaitu 30 persen, karena sudah dianggap setengah jadi. Tetapi, untuk soap noddle pajak impornya hanya 20 persen," ujarnya.

Dengan demikian, bisa disebut pabrik di Etiopia itu sebenarnya hanya melakukan pemrosesan akhir (finishing line), sebuah proses yang sederhana, tetapi bisa berdampak sangat positif dalam mengangkat nama Indonesia di Etiopia.

Etiopia, ungkap Andrianto, juga bukan satu-satunya negara yang dimasuki PT Sinar Antjol Jakarta. "Kami juga membangun pabrik di Ghana, dan di sana produk sabun kami, MediSoft, sangat terkenal. Di Tanzania dan di China juga kami ada pabrik," paparnya.

Meski kini di Indonesia produk sabun batangan sudah sangat jarang ditemui karena sebagian besar masyarakat kita lebih memilih sabun bubuk atau sabun colek, Andrianto menjelaskan, di Etiopia justru sabun batanganlah yang populer karena harganya yang terbilang murah, yaitu 3 birr atau Rp 3.000 per batang. Sabun itu bisa digunakan sekaligus untuk mencuci maupun mandi.

"Produk sabun itu tergantung dari budaya mencuci masyarakatnya. Meski sekarang konsumen di sini menyukai sabun batangan, kami juga sudah menyiapkan sabun bubuknya sebagai persiapan jika konsumen mulai berpaling dari sabun batangan. Khusus di ibu kota Addis Ababa ini, detergen bubuk mulai banyak digemari," kata GM First Indo-Ethiopia PLC.

Untuk bisa terus bertahan di pasar Etiopia, perusahaan itu juga telah mendatangkan mesin pengolah lotion dari Indonesia. Singkatnya, perusahaan ini memang tidak mau berpuas diri dengan apa yang sudah diperoleh sekarang, dan terus melakukan pengembangan pasar maupun selera konsumennya.

"Saya melihat peluang untuk produk-produk hasil olahan CPO sangat menggiurkan di sini. Karena itu, perlu lebih banyak perusahaan Indonesia masuk ke sini karena kita kan produsen CPO yang besar. Buat kami, persaingan dengan perusahaan-perusahaan asal Indonesia tidaklah menjadi masalah karena itu akan membuat kami lebih terpacu lagi untuk bekerja lebih keras dan kreatif," kata Andrianto.

Apa yang dilakukan Andrianto dan kawan-kawan serta perusahaan induknya di Jakarta sepatutnyalah menjadi sumber inspirasi bagi banyak pengusaha Indonesia, sekaligus ajakan agar mereka melirik Afrika sebagai pasar yang perlu segera dimanfaatkan.