Selasa, 26 Agustus 2008

Jangan Bilang Dokter Indonesia Tak Bermutu

Oleh: Sugiatmo

MENJADI buah bibir yang begitu menonjol akhir-akhir ini. Tidak lain, tentang meningkatnya jumlah orang sehat maupun pasien yang berobat ke luar negeri, khususnya ke negara-negara tetangga. Timbul pertanyaan, mengapa hal itu terjadi?

Di antara jawaban yang lahir adalah mungkin dokter Indonesia kurang berkualitas. Benarkah? Padahal, ada beberapa alasan yang menjadi penyebab, orang-orang mendatangi dokter atau rumah sakit di negeri jiran itu.

Sebut saja alasan pelayanan rumah sakit yang di Indonesia dirasakan kurang baik. Atau, obat-obat yang dari apotik yang dianggap mahal serta tarif dokter yang tergolong tinggi.

Promosi

Apapun alasan masyarakat Indonesia untuk berobat ke luar negeri sepenuhnya menjadi hak mereka. Tetapi harus pula dengan jujur kita melihat apa yang terjadi.

Negara-negara tetangga melakukan promosi yang luar biasa. Bukan hanya bersifat insidentil, melainkan berkesinambungan dan terprogram. Ini dapat dibuktikan dari promosi secara berkala di beberapa kota besar di Indonesia, termasuk kota Medan.

Promosi itu bukan hanya ditangani rumahsakit tersebut, melainkan dalam suatu kerjasama terpadu antar institusi. Tak tanggung-tanggung, pihak pemerintah juga turun tangan.

Buktinya, pihak Kedutaan besar atau Konsulat Jenderal (Konjen) ambil bagian secara aktif. Bukan sekedar tercantum nama lembaga itu dalam iklan dan spanduk, tetapi juga hadir memberi sambutan dalam acara atau jamuan makan di hotel berkelas.

Itu belum cukup, ternyata mereka sangat memperhitungkan kekuatan dan pengaruh media kepada publik. Untuk itu, diundang jurnalis berkunjung ke negara mereka sekaligus melihat langsung fasilitas dan pelayanan yang diberikan.

Itu, juga belum memadai. Mereka berikan “generale check-up” secara gratis bagi jurnalis. Tujuannya apa? Ada dua sisi. Pertama, untuk menyenangkan jurnalis. Kedua, jurnalis dapat menguraikan fasilitas dan pelayanan yang “seronok” itu kepada publik.

Ini bermakna, tulisan jurnalis memiliki nilai tambah dibanding iklan yang biasa. Tulisan jurnalis bagai “bercerita” tentang segala sisi atas pelayanan dan fasilitas yang dimiliki rumah sakit itu. Kalau iklan, cuma informasi. Jadi, publik tergugah membaca reportase jurnalis dan akhirnya memilih untuk berangkat ke luar negeri.

Pelayanan

Dari sisi pelayanan, juga tidak asal-asal. Mereka berikan pelayanan berupa penjemputan dan pengantaran dari bandara ke hotel dan rumahsakit secara cuma-cuma.

Mereka membuka semacam kantor para perwakilan di Medan atau Jakarta, sehingga memudahkan siapa saja untuk mendaftar dan beritahu tanggal keberangkatan, kelak akan dijeput di bandara di Penang, Kuala Lumpur, Malaka, Singapura atau di kota Bangkok.

Kalau begitu, cukup banyak alasan untuk menjawab pertanyaan di atas. Meski masyarakat Indonesia harus mengeluarkan dana yang lebih besar, tetapi orang-orang dari Aceh, Sumatera Utara, Riau serta Sumatera Barat, dengan gembira berangkat ke sana.

Memang ada sisi lain yaitu piknik. Sambil berobat ada unsur wisata. Tetapi, hal terpenting adalah siapa pun akan ikhlas mengeluarkan uang sesuai kemampuannya, agar dapat sehat kembali. Atau, bagi yang sehat merasa perlu melakukan “check-up” untuk mengetahui perkembangan kondisi tubuh atau kesehatan dirinya.

Ini tiada lain, karena berkaitan dengan nyawa dan kesehatan tubuh, hal-hal yang diberikan dokter dan rumah sakit, pada hakikatnya ada jasa. Jadi, mereka membayar jasa. Kalau mereka mendapat pelayanan dan pengobatan dengan fasilitas terbaik serta memuaskan, tarif yang agak tinggi, tak menjadi masalah. Karena, pelayanan terkait jasa itu memang mahal.

Kualitas

Jika demikian, salah siapa atas kejadian mengalirnya orang-orang Indonesia berobat ke luar negeri? Sebenarnya, tak usah mencari siapa yang salah. Tetapi, lakukan introspeksi dan evaluasi tentang hal-hal yang terkait dengan mutu dan keterampilan dokter Indonesia. Bagaimana fasilitas dan pelayanan rumah sakit? Tentang tarif dokter, rumah sakit dan obat. Semuanya merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan.

Khusus kualitas dokter Indonesia, marilah dengan jujur pula kita harus mengatakan: Mutu dokter Indonesia secara umum cukup baik. Meski ada satu-dua dokter yang tak berkualitas karena berbagai faktor.

Tetapi bukti menunjukkan sejumlah prestasi dokter Indonesia dalam kasus-kasus medis berhasil ditangani dengan sangat baik. Misalnya, operasi pemisahan kembar Siam. Penanganan operasi mata, termasuk penggunaan sinar laser dan yang kini populer dengan lasik.

Keberhasilan mengatasi penyakit chikunguya yang sangat meresahkan masyasarkat dan deman berdarah. Tidak luput, operasi tulang dalam berbagai kasus patah parah. Penanganan dokter Indonesia untuk ibu bersalin dalam penyakit asam urat (uric acid) tidak diragukan.

Begitu pula atas pasien terkait batu ginjal, di mana lebih dari 80 persen komponen batu ginjal adalah merupakan calcium oxalate. Kini ada penemuan baru, dengan bakteri oxalobacter, dapat memecahkan batu oxalate.

Dokter-dokter Indonesia juga mengikuti dengan antusias kemajuan iptek kedokteran. Misal, di Fakultas Kedokteran Universitas Udayana (Bali) kini telah dibuka program master untuk pengobatan anti penuaan (anti-aging medicine). Siapa sangka jika program master ini merupakan yang pertama di dunia?

Lebih jauh, sekarang seratus lebih mahasiswa dari Malaysia sedang kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara (USU). Mereka studi dengan biaya sendiri dan ada pula yang mendapat beasiswa dari sponsor dari Malaysia.

Mungkin biaya studi kedokteran di Malaysia terlalu tinggi dibanding di Indonesia, tetapi dokter Indonesia sebagai tenaga pengajar memang tergolong baik. Kalau tidak, tentu mereka tak studi ke FK USU. Jadi, jangan bilang dokter Indonesia tak bermutu. ****
http://analisadaily.com/2-12.htm