Selasa, 26 Agustus 2008

Membangun Industri Farmasi Kelas Asia
Senin, 7 Juli 2008 - 10:05 wib


Peresmian pabrik itu dilakukan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Kunjungan ke pabrik itu tampaknya menjadi perjalanan nostalgia bagi Presiden SBY. Pabrik itu dibangun di tengah kompleks industri yang cukup luas seperti pabrik infus maupun pabrik obat lain.

Yang menarik juga, peresmian pabrik itu merupakan ulang tahun pertama proyek yang sudah selesai setahun sebelumnya, antara lain pabrik infus tersebut dan Rumah Sakit Santosa International. Secara visual, pabrik yang dibangun Sanbe Farma tersebut seperti pabrik farmasi di luar negeri. Perkembangan menarik juga saya lihat di pabrik Dexa Medica di Palembang. Kota itu memang merupakan home base perusahaan farmasi tersebut.

Di samping pabrik yang sudah sekian lama berdiri, saat ini telah selesai dibangun pabrik obat baru di kota tersebut. Dua pabrik ini melengkapi pabrik lain yang dikembangkan dengan nama Ferron dan terletak di kompleks Jababeka. Sekali lagi, saya memperoleh kesan bahwa pabrik yang mereka bangun sungguh memenuhi standar internasional dan tidak kalah dengan pabrik farmasi di luar negeri.

Dengan melihat fasilitas yang dimiliki kedua perusahaan itu, saya merasakan betapa industri farmasi Indonesia sudah semakin menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Bahkan mungkin sudah cukup kuat untuk bersaing di kancah ASEAN. Ini tentu berbeda dengan situasi di awal Orde Baru ketika industri farmasi Indonesia kalah bersaing dengan industri farmasi asing yang masuk ke Indonesia dengan memanfaatkan fasilitas penanaman modal asing (PMA) di masa itu.

Kita masih ingat nama-nama Pfizer, Bayer, dan sebagainya seakan berkembang tanpa tanding di Indonesia. Melihat perkembangan berbagai perusahaan farmasi saat ini sungguh membesarkan hati. Kita mengenal dengan cukup akrab perusahaan seperti Kalbe Farma, Sanbe Farma, Dexa Medica, Konimex, Soho Farmasi. Berbagai perusahaan inilah yang dewasa ini justru bisa dikatakan menguasai sebagian besar pasar farmasi Indonesia.

Pasar Domestik sebagai Fondasi

Industri farmasi Indonesia sungguh beruntung karena memiliki fondasi kuat berupa pasar yang besar dan berkembang cepat. Jumlah penduduk Indonesia sekitar 225 juta. Pada 2008 ini jumlah penduduk tersebut memiliki pendapatan per kapita sekira USD2.000 atau dua kali lipat dibandingkan pendapatan per kapita tertinggi sebelum krisis. Yang menarik, 30 persen penduduk atau hampir 70 juta memiliki pendapatan per kapita lebih dari USD2.000.

Bahkan 23 juta penduduk memiliki pendapatan per kapita sekira USD6.000. Ini mirip sekali dengan Malaysia yang jumlah penduduknya sekira 25 juta orang dan pada 2006 memiliki pendapatan per kapita sekira USD5.450. Kelompok penduduk ini memiliki potensi meningkatkan pengeluaran untuk pembelian obat sehingga mendekati atau setara dengan Malaysia.

Sementara itu, sekira 23 juta penduduk lain memiliki pendapatan per kapita USD3.000. Jumlah ini cukup besar untuk menyerap berbagai produk farmasi standar maupun di atasnya. Adapun 70 persen penduduk yang memiliki pendapatan pas-pasan rasanya merupakan konsumen utama obat-obatan generik yang berharga murah. Dengan melihat prospek peningkatan pendapatan berbagai kelompok tersebut, bisa dikatakan bahwa masa depan industri farmasi Indonesia cukup baik.

Pada 2010, pendapatan per kapita masyarakat bisa mencapai USD3.000. Untuk kelompok 10 persen teratas, yaitu sekira 24 juta, akan memiliki pendapatan per kapita hampir USD10.000. Kelompok ini, selain obat-obatan standar, akan mampu membeli obat-obatan high-end seperti obat untuk perawatan kulit maupun obat fancy lainnya.

Sebagai catatan, 2010 hanya dua tahun lagi. Sementara itu, pembangunan pabrik obat juga memiliki lead time yang lebih lama dari satu tahun karena proses pemberian izin oleh Departemen Kesehatan memakan waktu cukup panjang. Karena itu, kebutuhan investasi untuk 2010 haruslah dipersiapkan tahun ini.

Penetrasi ke ASEAN

Extra Joss, minuman energi yang diproduksi Grup Kalbe Farma, sekarang ini merajai pasar minuman energi Filipina. Kalbe Farma juga memproduksi obat-obatan yang dipasarkan di Filipina maupun negara-negara ASEAN lain. Sanbe Farma dan Dexa Medica juga menunjukkan keaktifannya dalam melakukan penetrasi maupun mengembangkan pasar farmasi di ASEAN.

Bahkan industri farmasi yang masih relatif muda seperti Hansen Laboratories juga telah aktif memasarkan produknya untuk pasar ekspor. Semua ini berarti bahwa kemampuan industri farmasi Indonesia telah memiliki kemampuan untuk melakukan penetrasi pasar ekspor, terutama ASEAN, dan bahkan mampu untuk menguasainya.

Penetrasi ke ASEAN memiliki arti cukup dalam. Pertama, kemampuan penetrasi tersebut berarti bahwa industri farmasi Indonesia memiliki daya saing cukup kuat di pasar ASEAN. Sama ketika industri farmasi domestik akhirnya mampu mengalahkan industri farmasi asing di Indonesia, maka kemampuan bersaing di ASEAN itu menunjukkan bahwa jika pasar ASEAN (termasuk Indonesia) menjadi terbuka sebagaimana diamanatkan dalam konsep ASEAN Economic Community pada 2015, industri farmasi Indonesia akan mampu mempertahankan eksistensi, bahkan mampu menguasai pasar farmasi ASEAN. Dengan melihat perkembangan tersebut, pada akhirnya kita bisa menghalau keraguan dalam menghadapi ASEAN Economic Community tersebut.

Kelas Asia

Dewasa ini, China dan India telah berkembang kuat sehingga industri farmasi mereka tidak hanya berkiprah di Asia, tetapi mampu berkiprah di kelas dunia. China semakin mengukuhkan diri sebagai penyedia bahan baku industri farmasi dunia. Sementara itu, India memiliki kemampuan untuk melakukan produksi bagi kepentingan negara-negara lain seperti Amerika Serikat dan Eropa.

Apa yang bisa dilakukan Indonesia untuk menyiapkan industri farmasi menjadi pemain kelas Asia? Menggunakan perbankan sebagai analogi, untuk kawasan ASEAN, peringkat bank-bank kita masih berada di bawah Singapura, Malaysia, dan Thailand. Bank Mandiri berada pada posisi kesembilan dan BCA di nomor 14 pada 2006. Jika Bank Mandiri merger dengan BCA, misalnya, akan diperoleh size di atas Maybank yang saat ini menduduki nomor empat setelah tiga bank dari Singapura.

Sementara itu, UOB, DBS, dan OCBC yang dewasa ini menduduki tiga besar teratas ASEAN adalah hasil merger juga pada tahuntahun sebelumnya. Ini berarti bahwa konsolidasi bagi industri farmasi Indonesia juga merupakan isu menarik untuk dikaji lebih lanjut. Jumlah perusahaan farmasi yang lebih dari 200 pada akhirnya harus bersaing keras untuk menjadikan dirinya sebagai pemain kelas Asia.

Dengan berkolaborasi, kekuatan mereka akan menjadi lebih besar. Jaringan distribusi merupakan salah satu kunci kekuatan industri farmasi. Sebagaimana fast moving consumer goods, industri farmasi Indonesia dituntut untuk mampu melayani pelanggannya hingga ke pelosok-pelosok Tanah Air.

Untuk itu, diperlukan jaringan distribusi yang kuat. Itu pulalah yang akhirnya menjadi kekuatan Sanbe Farma dengan Bina San Prima sebagai distributor, Kalbe Farma dengan Enseval, dan sebagainya. Untuk bisa membangun kekuatan serupa di kelas ASEAN, kekuatan jaringan distribusi semacam ini sangat diperlukan.

Barangkali, upaya bersama di antara sesama industri farmasi Indonesia dalam membangun jaringan distribusi di luar negeri akan lebih meringankan beban mereka dibandingkan jika harus membangunnya sendirian. Selain itu, agar mampu menjadikan diri sebagai industri kelas Asia, kemampuan penelitian harus diperkuat.

Berbagai produk baru dan inovasi lain bisa dikembangkan jika industri farmasi Indonesia mampu melakukan penelitian yang setara dengan pesaing mereka di luar negeri. Di sinilah peran pemerintah diperlukan. Bukan untuk merecoki industri ini, melainkan untuk mengembangkannya menjadi lebih besar. (*)

Cyrillus Harinowo
Rektor ABFII Perbanas (//mbs)

http://economy.okezone.com/index.php...asi-kelas-asia